SUAKA -‘TANAH BUMBU. TIGA bulan terakhir, kawasan Pantai Bunati tak ubahnya pasar malam. Bukan oleh wisatawan, melainkan tenda – tenda para penambang ilegal.
Mereka terlihat mengarahkan puluhan alat berat dan truk – truk jumbo. Ironisnya, aksi pengerukan emas hitam mereka mulai merembet ke bibir pantai.
Berdasar data Kementerian ESDM, tak jauh dari wilayah Pantai Bunati, memang ada konsesi pertambangan, yaitu milik PT Anzawara Satria.
Namun sejak tahun lalu, Anzawara tidak lagi beroperasi lantaran adanya gangguan penambang ilegal.
“Iya. Sudah setahun terakhir,” ujar salah seorang warga setempat yang enggan namanya dimediakan di Pantai Bunati, Selasa (31/5).
Dari total tiga ribu hektare luas konsesi PT Anzawara, 600 hektare di antaranya sudah dikuasai oleh penambang ilegal.
Dalam sehari bisa 30 truk bolak-balik keluar pantai mengangkut batu bara. Lalu-lalang pengapalan batu bara yang diambil dari PT Anzawara pun seakan dibiarkan begitu saja.
“Modus operasi mereka langsung kerja. Dan banyak sekali sudah orangnya, kini seperti pasar malam,” ujarnya.
Ekspansi kegiatan ilegal meluas. Sebagian besar tanah pengupasan sisa penambangan, tercecer ke lautan, terseret arus ombak.
“Negara sedang gencarnya bikin tempat wisata eh malah dirusak,” ujar warga ini.
Dirinya pun meminta para wakil rakyat di Komisi III DPR RI tak diam saja. Segera turun melakukan peninjauan lapangan.
“Penegak hukum saja tidak berani mengusir, apalagi pemilik IUP,” ujarnya.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin mengakui aksi penggarongan di wilayah IUP Anzawara tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengurangi potensi penerimaan negara, tapi juga menyulut konflik sosial.
Masih membekas di ingatan publik. Seorang pengacara bernama Jurkani yang kala itu bekerja sebagai Kuasa Hukum Anzawara untuk mengusir penambang liar tewas dibacok. Lokasi kejadian tak jauh dari Pantai Bunati.
Atas kondisi tersebut, Ridwan melayangkan surat ke Bareskrim Polri. Isinya meminta bantuan pengamanan.
Namun, upaya yang dilakukan pihak kepolisian tak membuat penambang liar jera.
Para penggangsir itu berani merusak police line yang dipasang Bareskrim. Bahkan, aksi pengerukan batu bara ilegal hingga pengapalan ke pelabuhan dilakukan secara blak-blakan.
Aksi culas penambang ilegal di kawasan pesisir Bunati mengancam ruang hidup masyarakat sekitar, yang mengandalkan mata pencaharian sebagai nelayan. Aparat dan pemerintah perlu segera ambil tindakan.
Pemerhati pertambangan Kalimantan Selatan, Aspihani Ideris saat di konfirmasi oleh awak media ini menyatakan, para penambang yang tidak di lengkapi perizinan itu dapat di katakan sebuah perbuatan pelanggaran hukum yang dikatakan dengan istilah Penambang ilegal.
Siapapun melakukan kegiatan penambangan tidak memiliki izin, kata Aspihani, maka perbuatannya tersebut merupakan tindak pidana, karenakan aktivitas tersebut boleh dikatakan sebuah perbuatan ilegal.
Perbuatan penambangan ilegal itu ditegaskan dalam Pasal 158 UU Pertambangan yang berbunyi : “Bagi para penambang ilegal akan dijerat dengan Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan/atau Pasal 12 Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar, ” tukas Dosen Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini.
Selain itu jelas Direktur Eksekutif LEKEM Kalimantan ini, setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Selain itu pula cecer Aspihani, dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dibutuhkan kejujuran dengan menyampaikan data-data atau keterangan-keterangan yang benar, seperti data studi kelayakan, laporan kegiatan usahanya, dan laporan penjualan hasil tambang, agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
“Bagi para penambang tidak memberikan keterangan yang sebenarnya akan mendapatkan sanksinya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat. Oleh karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,-.
Untuk Eksplorasi Tanpa Hakpun ada aturan hukumnya, dari itu ucap Aspihani, dalam melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan harus didasarkan atas izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu berupa IUP atau IUPK, maka eksplorasi yang dilakukan tanpa izin tersebut merupakan perbuatan pidana dan diancam dengan hukuman berdasarkan Pasal 160 ayat (1) UU Pertambangan dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,-.
Selain itu lagi, ia menjelaskan pemegang IUP eksplorasi setelah melakukan kegiatan eksplorasi tidak boleh melakukan operasi produksi sebelum memperoleh IUP Produksi. Hal tersebut disebabkan karena terdapat dua tahap dalam melakukan usaha pertambangan, yaitu, eksplorasi dan eksploitasi, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur. Pelanggaran terhadap hal tersebut akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,-.
Berbicara penindakan terhadap para penambang liar atau penambang ilegal, sudah di ketahui khalayak umum sulit untuk di tindak secara hukum yang berlaku, karena mereke tersebut melakukan permainan tersebut sudah secara jaringan dengan pengkondisian yang melibatkan para penguasa dan pemangku penegak hukum itu sendiri. Tukasnya. (TIM)