Suarakalimantan.com, Tanah Bumbu,- Mantan Bupati Tanah Bumbu (Tanbu), Mardani H Maming, tak terlibat menerima aliran dana suap dalam bentuk apapun dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mendudukan Dwijono Putrohadi Sutopo di kursi terdakwa.
Dwijono menuturkan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Banjarmasin Senin (23/05/2022), menjawab pertanyaan majelis apakah ada aliran dana yang diterimanya kepada Bupati Tanbu yang ketika itu dijabat Mardani H Maming. Dijelaskannya, tidak ada dana yang mengalir kepada sang bupati.
Pernyataan terdakwa yang menyebutkan bahwa tak ada dana yang mengalir kepada Mardani Maming, Bupati Tanah Bumbu dua periode itu (2010-2015 dan 2016-2018), sekaligus membantah keterangan saksi Christian Soetio, yang menyebutkan bahwa ada dana senilai Rp89 miliar yang mengalir kepada Ketum HIPMI itu melalui PT TSP dan PAR yang kata dia adalah milik Mardani Maming.
“Total yang sesuai TSP dan PAR itu nilainya Rp 89 miliar yang mulia,” ungkap Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Christian Soetio, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Jum’at (13/05/2022).
Pakar kebijakan publik dan media, Dr MS Shiddiq yang dimintai komentarnya berkaitan dengan keterangan terdakwa, meminta agar media berhati-hati dalam menulis berita, dan tidak dijadikan sebagai alat untuk menggiring opini agar seseorang yang tidak bersalah seolah-olah bersalah.
“Apalagi prosesnya sudah masuk pengadilan, biarkan hukum yang menentukan, bersalah tidaknya seseorang berdasarkan putusan pengadilan. Jadi hormati hak semua pihak dalam menulis berita,” ujarnya kepada media ini, Rabu (25/05/2022).
Menurutnya, media harus menerapkan asas praduga tidak bersalah dan menjunjung tinggi asas prudent (kehati-hatian) dalam mempublikasikan pemberitaan kasus dugaan tindak pidana. Apalagi menyangkut nama orang dan lembaga yang melekat pada dirinya yang diduga terlibat.
Pantauan media ini, memang banyak isu dan pemberitaan miring mengenai keterlibatan Bendahara Umum PBNU asal Batulicin, Mardani H Maming, yang diduga terlibat menerima aliran dana dari mantan bawahannya.
“Hemat saya, pemberitaan di sejumlah media harusnya tidak boleh melanggar asas Presumption of Innocence (praduga tidak bersalah) sebagai wujud due process of law dalam penegakan hukum pidana,” ujar Dosen Komunikasi Politik sejumlah kampus terkemuka di Jakarta ini kepada media.
Shiddiq mengungkapkan bahwa terdapat beberapa media online yang memberikan opini mengenai informasi yang diangkat dengan menerapkan prasangka bersalah, menghakimi dan menurunkan berita yang belum dikonfirmasi sebelumnya kepada pihak yang disebutkan atau dapat dikatakan sebagai (cover both side). Tentu hal ini menjadi akar terjadinya penghakiman (trial by the press) yang nantinya dapat disebut juga sebagai pelanggaran terhadap hak warga negara atau bahkan pelanggaran terhadap hak-hak pihak yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa pidana tersebut.
Seperti diketahui, lanjut Shiddiq, bahwa landasan yuridis asas praduga tak bersalah dalam memberitakan peristiwa dan opini secara tegas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers yang berbunyi: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Selain itu pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Pers disebutkan juga bahwa: “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”
Berdasarkan UU Pers tersebut, Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Kalimantan (JIMKA) ini menyebutkan bahwa implementasi asas praduga tidak bersalah ini harus diberlakukan dalam memberikan pemberitaan yang tidak menghakimi seseorang yang hanya masih dalam batas dugaan tanpa putusan lembaga hukum.
“Pelanggaran asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) yang terjadi karena kekeliruan informasi dari narasumber dapat mengakibatkan terjadinya trial by the press yang dapat menggiring masyarakat untuk memiliki keyakinan yang belum dibuktikan oleh pengadilan dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mengakibatkan terserangnya hak-haknya sebagai warga negara,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan, dewasa ini kemudahan penggunaan ruang publik atau (public sphere) saat menyampaikan laporan karya jurnalistik apalagi didukung penyebaran yang cepat dan massif melalui media sosial, sehingga orang dengan mudah mengakses media, maka media dan masyarakat perlu diberikan penyadaran mengenai asas bertanggung jawab sebagai bentuk masyarakat yang taat hukum.
“Sangat disayangkan, kebebasan pers (a freedom of the press) dalam perspektif pers Indonesia diterjemahkan sebagai kebebasan absolut, padahal sebenarnya kebebasan itu dibatasi oleh hak orang lain yang harus mendapat perlindungan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tukasnya.
Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa itupun terikat oleh Kode Etik dan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. “Pers nasional harus dapat melaksanakan fungsi, asas dan kewajibannya secara profesional dengan terbebas dari campur tangan pihak manapun, termasuk pemilik pers sendiri demi tercapainya pemberitaan yang faktual,” pungkasnya.
Mardani Tak Terlibat
Sebelumnya, pada kesaksiannya, Christian Soetio, ketika menjadi saksi dalam sidang bersama Manajer Operasional PT Borneo Mandiri Prima Energi (BMPE), Suryani; dan pegawai PT PCN, Muhammad Khabib. Christian Seotio menduduki posisi Dirut PT PCN menggantikan posisi kakak kandungnya Henry Soetio yang telah meninggal dunia pada Juni 2021
“Total yang sesuai TSP dan PAR itu nilainya Rp 89 miliar yang mulia,” ungkapnya ketika itu.
Tetapi keterangan itu dibantah oleh terdakwa Dwidjono. Menurutnya, aliran dana total Rp 13,6 miliar lebih yang diterimanya dari almarhum Henry Soetio, baik melalui kartu ATM atas nama Yudi Aron, merupakan utang-piutang. Bukan suap.
Dituturkannya, uang itu diserahkan kepadanya melalui ATM atas nama Yudi Aron pada 2015. Jauh hari setelah adanya pengalihan IUP dari PT BKPL kepada PT PCN milik almarhum Henry Soetio pada 2011.
“Pinjaman itu karena adik saya yang bilang mau kerja (usaha). Jadi, saya komunikasikan ke almarhum Pak Henry dan disetujui, walaupun tidak seluruhnya dan bertahap karena saya ajukan (pinjaman) Rp 20 miliar,” urainya.
Berdasarkan pengakuan terdakwa H Dwijono, dana tersebut sebagian dijadikan modal untuk mendirikan PT BMPE yang bergerak di bidang pertambangan batu bara. Direktur perusahaan ini adalah adik kandungnya. Dia juga mengakui menggunakan dana tersebut di luar keperluan operasional perusahaan, seperti mentransfer kepada istrinya, dan sejumlah keperluan lainnya.
Sidang dengan terdakwa mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo, akan dilanjutkan pada Senin 30 Mei 2022 mendatang, dengan agenda pembacaan putusan.
(TIM)