SuaraKalimantan.com, Cirebon
“Nurhayati seharusnya mendapatkan apresiasi yang tinggi dan sepantasnya pula mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena dengan keberaniannya membuat laporan atas dugaan penyelewengan dana desa oleh oknum Desa Kuwu Citemu Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon, mulai dari tahun 2018, 2019 dan 2020, ini kenapa dijadikan tersangka,” Demikian disampaikan Advokat Elyasa Budiyanto saat konferensi Pers dibilangan jalan Pantura Cirebon, beberapa waktu yang lalu.
Elyasa kembali menegaskan, penetetapan tersangka kepada mantan Bendahara Desa Citemu atas nama Nurhayati yang sebelum nya pada posisi pelapor korupsi sebesar Rp. 800 Juta sejak tahun 2018, 2019 dan 2020 ini menjadi presenden buruk bagi penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dana desa.
Elyasa memastikan Nurhayati telah menjalankan tugasnya sebagai Bendahara desa sesuai tupoksi dimana dalam mencairkan uang (Dana Desa) di Bank BJB tersebut sudah mendapatkan rekomendasi Camat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD).
“Menurut pasal 51, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana,” tegas Elyasa.
Advokat asal Karawang ini pun mempertanyakan logika hukum apa yang dipakai penyidik, karena dalam pemeriksaan terhadap kliennya tidak ditemukan unsur melawan hukum seperti menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi.
“Apakah ini ada pesanan dari oknum untuk mentersangkakan pelapor? Padahal, dalam KUHP dan KUHAP untuk menjadikan tersangka harus ada dua alat bukti yaitu saksi dan keterangan ahli,” ujarnya.
Ia menduga ada upaya persekongkolan jahat dari pihak-pihak tertentu untuk menjadikan pelapor sebagai tersangka tindak pidana korupsi.
“Kasus ini membuat para perangkat desa lainnya yang mengetahui penyelewengan dana desa tidak akan berani melapor, karena takut akan dijadikan tersangka seperti Nurhayati ini,” tutupnya.