PENGARUH OLIGARKI TERHADAP PROGRAM TAYANGAN DI MEDIA TELEVISI

 

Media massa berkembang pesat seiring dengan berkembangnya teknologi saat ini. Perkembangan media massa mendukung manusia untuk mengakses informasi terbaru dari segala penjuru dunia, guna memenuhi akses informasi. Perkembangannya diseluruh dunia sangat cepat termasuk di Indonesia yang merupakan negara berkembang.

Media massa berperan penting dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Termasuk dalam membangun perkembangan masyarakat di masa yang akan datang, karena media massa dapat mempengaruhi perilaku, pergaulan, cara berfikir dan sikap setiap individu. Media massa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sosial dan kehidupan bernegara. McQuail (2002) dalam bukunya “Mass Communication Theories” dalam Subiakto (2012) mengatakan bahwa setidaknya ada enam perspektif dalam melihat peran media. Pertama, media massa dipandang sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri. Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Yaitu, cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Ketiga, memandang media massa sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Keempat, media massa acap kali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam. Adapun kelima, melihat media massa sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. Terakhir, keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.

Ada beberapa macam media massa antara lain media cetak (koran, majalah, tabloid), media elektronik (televisi, radio), dan media online. Terkhusus media televisi dapat memberikan kepuasan tersendiri terhadap pemirsa dengan beranekaragam tayangan yang disiarkan oleh berbagai perusahaan stasiun televisi swasta maupun pemerintah. Salah satunya acara yang disajikan ke public dalam bentuk hiburan, talkshow, dan lainnya. Seperti talkshow Indonesia Lawyers Club, Kick Andy, Mata Najwa. Diantara tayangan program tersebut salah satu acara yang paling diminati dan ditunggu-tunggu masyarakat indonesia adalah acara talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC). Indonesia Lawyers Club merupakan sebuah acara talkshow yang memperbincangkan dan mengangkat isu-isu nasional dari berbagai perspektif, yang narasumbernya sangat berkompeten dan ahli dibidangnya masing-masing. Acara ILC ini dipimpin oleh wartawan senior sebagai pembawa acaranya yaitu Bang Karni Ilyas.

Baca Juga:  Danrem 101/Antasari Terima dan Lepas Pejabat Kasi Ops Kasrem

Tetapi saat ini acara ilc berhenti tayang dan belum ada kepastian untuk tayang kembali. Padahal talkshow tersebut sangatlah berkualitas dan memberikan pendidikan kepada pemirsa. Karena selalu mendiskusikan dengan sangat menarik dan narasumber dari semua pihak untuk menghasilkan informasi yang berimbang baik dari pihak yang dirugikan atau sebaliknya. Pada saat pemerintahan SBY acara ILC tidak mengalami kendala tayangan, melainkan pada pemerintahan Presiden Jokowi acara ILC banyak intervensi. Menariknya acara ILC tutup tayang menjadi pertanyaan dari Bapak Presiden Jokowi karena beliau tidak pernah intervensi. Menurut kesimpulan yang diucapkan Prof. Salim Said bahwa “penguasa di Indonesia ini tidak tunggal. Salah satu buktinya presiden Jokowi saja heran ILC dihentikan”. Begitu pula Prof Mahfud MD, Rizal Ramli, dan Yasona Laoli juga mempertanyakan soal itu karena pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap media telivisi khususnya acara ILC.

Pada kesempatan yang sama presiden ILC Bang Karni Ilyas mengakui dan memberikan komentarnya bahwa “banyak yang berkuasa di republik ini”. Pernyataan tersebut memperkuat penilaian dari Prof. Salim Said. Ini membuktikan bahwa, ada kekuatan politik media di balik layar. Dalam kata lain pemilik media atau para investor media televisi di negeri ini sangat dominan mengontrol isi berita atau tayangan konten di televisi. Menurut penulis Bang Karni orangnya sudah sangat hatam persoalan intervensi, saat ini dia tidak berdaya entah apakah berkaitan dengan oligarki yang lain khususnya orang-orang elit yang menguasai media massa. Kita tau pemilik media televisi Metrotv ada PT. MTI, MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV) pemiliknya Hary tanoe, Chairul Tanjung punya TransTV danTrans7, sedangkan TvOne dimiliki oleh perusahaan PT. Visi media asia (Aburizal Bakrie & Erick Tohir).

Baca Juga:  ANTARA TAUHID IMAN DAN MORALITAS

Oligarki Media

Melihat orang dibelakang media besar tersebut menandakan kebebasan pers yang semakin baik. Kebebasan pers dalam demokrasi di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kedua UU ini berhasil mendorong demokratisasi informasi sekaligus membuka pasar media yang luas. Terbukanya pasar media mengakibatkan banyak berdirinya perusahaan-perusahaan media (privatisasi media). Namun, kebebasan media juga memunculkan masalah yaitu terjadinya pemusatan kepemilikan perusahaan media yang mengarah pada praktik konglomerasi. Selain praktek konglomerasi di media massa juga terjadi Intervensi konten tayangan.

Konten tayangan ILC memasang iklan disitu tarifnya termahal dibandingkan talkshow yang lain. Apabila dikaitkan pada nilai ekonomi media tentu acara tersebut sangat menguntungkan dan dapat menghasilkan dana yang besar, tetapi bisa saja orang yang intervensi merasa terganggu keberadaannya di pemerintahan Bapak Jokowi atau dibidang usahanya yang digeluti saat ini. Karena acara ILC akhir-akhir sebelum ditutup, tema yang diangkat umumnya tentang Pemerintahan Bapak Presiden Jokowi.

Ekonomi politik media terkait dengan masalah kapital atau modal dari para investor yang bergerak dalam industri media. Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa, dimana keduanya dikaitkan dengan berbagai persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori ini mengindentifikasi berbagai kendala yang dilakukan para praktisi media yang membatasi kemampuan mereka untuk menantang kekuasaaan. Dimana penguasa membatasi produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga konten media yang diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga menghambat berbagai upaya untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif. Upaya penghambatan para pemilik pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi politik ini, yang justru aktif bekerja demi perubahan sosial. Seperti yang terjadi pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang selalu dinanti-nanti oleh pemirsa mengalami intervensi yang membuat acara tersebut ditutup.

Solusinya

Dengan kejadian talkshow ilc berhenti tayang menjadi pelajaran bagi kita semua. Bagaimana agar media ini tetap bebas memberikan tontonan tapi masih dalam koredor peraturan yang berlaku dan tidak melanggar hukum. Dan tetap menjadi bagian penting dalam membentuk pola pikir masyarakat Indonesia.

Baca Juga:  Agar Dapat Berkembang, Seharusnya Presiden Memperhatikan Pasar Tradisional.

Pertama, setiap diri memperbaiki akhlak. Karena dengan akhlak yang baik dapat mengurangi praktek-praktek konglomerasi media yang tidak baik, menghindari sifat intervensi terhadap konten yang bersifat membangun. Sesuai dengan hadist nabi Muhammad SAW Diriwayatkan dari Sinnan bin Harun, dari Humaid, dari Anas marfuk “Akhlak yang baik membeli semua kebaikan dunia dan akhirat”.

Kedua, perbaikan kehidupan ekonomi bangsa. Dalam catatan Jeffery Winters dalam kajiannya mengenai oligarki kurang dari 0,0000002% dari total penduduk menguasai 10% GDP di Indonesia (Jeffry Winters: 2013,). Saat ini situasinya masih memprihatinkan karena situasi ekonomi bangsa yang belum menggembirakan, terutama bagi rakyat kebanyakan. Kondisi ini menyebabkan segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi media massa.

Ketiga, penguatan budaya demokrasi dan masyarakat madani. Meski berbagai survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat kita mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, budaya demokrasi kita masih belum kuat. kurangnya kesadaran untuk menjadi oposisi kritis-objektif menyebabkan masyarakat dan elit kita masih memandang oposisi sebagai kelompok kecil dan mudah terbawa arus kekuasaan yang kuat. Selain itu, juga terdapat mentalitas “konservatif”, feodalisme, dan kelanjutan dari semangat demokrasi yang tidak liberal (David Bourchier 2015) yang memberikan jalan bagi pembenaran atas dominasi segelintir orang/oligarki. Dalam nuansa ini, keberadaan oligarki akan selalu mendapat tempat dan diterima meski jelas bertentangan dengan kepentingan rakyat. Semuanya jelas membutuhkan asupan kesadaran budaya demokrasi yang kuat.

Selain itu, penguatan masyarakat sipil juga perlu dilakukan. Agar apabila terjadi intervensi politik terhadap media, masyarakat sipil akan tetap tampil menjadi control terhadap media massa dan oligarki. penguatan civil society menjadi suatu keharusan, karena dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam memperkuat media massa, perlawanan terhadap oligarki dan elitisme dapat diharapkan.

Penulis: BUSTANUL MUBAROK
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta

Dibaca 49 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top