Teras Narang: Konflik Tanah Masih Terjadi di 34 Provinsi

Teras Narang

SuaraKalimantan.Com- Palangkaraya. PUSAT Kajian Otonomi Daerah (PUSKOD) Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH-UKI) kembali menggelar webinar. Kali ini, PUSKOD mengambil tema “Tanah dan Sumber Daya Alam dalam Otonomi Daerah Terkini”, Jum’at 3 September 2021.

Hadir sebagai narasumber dalam tersebut Surya Tjandra
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN, Kunthi Tridewiyanti Ketua PusKAHA FHUP dan Wakil Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) serta Hendri Jayadi Pandiangan pengajar pasca sarjana FH UKI & Sekretaris Eksekutif PUSKOD.

Dalam kesempatan itu, anggota DPD RI 2019-2024 Agustin Teras Narang yang didapuk sebagai pengantar webinar mengatakan, dari hasil inventarisasi 34 provinsi yang ada di Indonesia konflik tanah adat di daerah masih kerap terjadi.

“Dari yang kesekian kami temukan dari permasalahan konflik tanah adat atau ulayat masih kerap terjadi di daerah,” jelas Teras Narang.

Pendiri PUSKOD UKI itu menambahkan, konflik tanah dengan dengan tapal batas atau batas wilayah juga kerap terjadi di tingkat desa hingga provinsi.

“Baik ditingkat desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi tapal batasnya kerap tidak sinkron,” ungkap Teras Narang.

Mantan Gubernur Kalimantan Tengah ini menjelaskan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 selama ini belum bisa dijalankan secara maksimal.

“Belum bisanya implementasi Perpres ini bisa menimbulkan masalah baru,” pungkas Teras Narang.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau BPN Surya Tjandra, mengungkapkan, perlu kerjasama yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah guna menyelesaikan permasalahan tanah yang kerap tejadi.

“Seperti kita ambil contohnya saat pembanguan rumah bagi masyarakat Palu yang terkena tsunami. Saat itu memang ada permasalahan tanahnya. Namun berkat kerjasama dengan Pemprov, Pemkot Palu dan pusat masalah sengketa tanah yang akan dibangun bisa teratasi,” ucap Surya Tjandra.

Baca Juga:  Jaga Situasi Aman dan Kondusif, Polda Kalsel Perketat Pengamanan Mako

Dr. Kunti Dewiyanti, dari wakil ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat menekankan pentingya permodelan dan upaya-upaya pengakuan hak-hak adat. Disadari meskipun seringkali terjadi silang klaim dan perbedaan data, namun, kepekaan dari para pihak amat penting untuk menguatkan kredibilitas hukum dalam keragaman di Indonesia.

“Sumbangan penting dari kajian otonomi daerah dibutuhkan untuk dapat membaca persilangan hukum ini dikelola. Otonomi daerah perlu untuk sampai pada ketajaman mencemati persilangan hukum dan dampaknya pada masyarakat setempat,” katanya.

Disamping itu, pengajar pasca sarjana FH UKI Hendri Jayadi Pandiangan mengatakan, selama ini konflik pertanahan bukan hanya terjadi antara masyarakat dengan Pemda. Namun, masyarakat juga sering berbenturan dengan para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya.

“Harus ada sinkronisasi antar pemerintah daerah maupun pusat. Masyarakat sendiri kadang-kadang sering jadi korban dengan adanya konflik pertanahan,” ucap Hendri.

Sekretaris Eksekutif PUSKOD UKI ini berpikir tidak ada salahnya jika pengadilan khusus mengenai agraria dibentuk.

“Karena ada juga pengadilan Niaga di Indonesia. Jadi, tidak ada salahnya juga dibentuk pengadilan khusus agraria untuk penyelesaian konflik agraria di Indonesia,” demikian Hendri Jayadi Pandiangan. (red)

Dibaca 30 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top