SuaraKalimantan.com, Palangka Raya – Menyikapi konflik yang terjadi antara Masyarakat Adat Dayak Mondang Long Wai Desa Long Bentuq, Kutai Timur, Kalimantan Timur terhadap PT Subur Abadi Wana Agung (PT. Sawa) yang diduga membabat wilayah hutan adat milik masyarakat menjadi perhatian banyak pihak baik pejabat Pemerintahan, pemerhati lingkungan hingga lembaga Kemahasiswaan luar kampus pun turut prihatin atas kondisi yang terjadi yaitu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Komda VIII PP PMKRI (KalSel, KalTeng, KalTim & KalTara), Romondus Romi, SH, mengatakan bahwa peraturan mengenai pengakuan terhadap masyarakat Hukum Adat dan Penetapan Kawasan Hutan Adat sebenarnya sudah di diatur didalam Putusan MK No.35/PUU-X/2012, Pasal 3 ayat (3) Permendagri No.52/2014, Permen LHK No.21 tahun 2019 Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, Pasal 67 UU No.41 tahun 1998 Tentang Kehutanan, meskipun belum dibuat aturan secara khusus (lex specialis).
Bahwa Negara melalui aturan-aturan tersebut diatas memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat suatu kebijakan atau Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur mengenai Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat beserta Kawasan Hutan Adat.
Romondus lebih detail menjelaskan, hinga saat ini hanya beberapa wilayah di Indonesia yang sudah mengantongi legalitas negara terhadap pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Kawasan Hutan Adat.
Belum adanya aturan khusus (lex specialis) yang mengatur tentang Pengakuan terhadap Masyarakat Adat menjadi salah satu penyebab konflik yang terjadi antara masyarakat Adat dengan Pengusaha ataupun Pemerintah melalui aparat keamanan negara.
Hal lainya dikarenakan belum adanya legalitas negara atau pengakuan negara terhadap Hutan Adat masyarakat, seperti halnya yang terjadi beberapa waktu lalu di Laman Kinipan Lamandau, Kalimantan Tengah salah seorang tokoh komunitas Adat ditangkap paksa dengan dalil pencurian.
“Kali ini kembali terjadi konflik tenurial yang menimpa beberapa tokoh Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai, Desa Long Bentuq, Kutai Timur, Kalimantan Timur yang sedang berjuang mempertahankan tanah Adat mereka, menjadi contoh gagalnya pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat, lemahnya aturan yang ada serta miniminya perhatian pemerintah menjadi ruang bagi pengusaha untuk mendapatkan ijin konsensi terhadap tanah masyarakat adat,” tutur pria berdarah dayak ini.
Romondus juga menegaskan, berkenaan dengan konflik bahkan penangkapan yang sering terjadi terhadap beberapa tokoh masyarakat kami melihat adanya upaya kriminilasasi terhadap masyarakat-masyarakat adat yang berjuang mempertahankan kelestarian hutan adatnya
Maka oleh sebab itu dalam rangka memberikan Perlindungan hukum kepada masyarakat, pemerintah harus menjadi inisiator dan bekerjasama dengan masyarakat supaya dapat segera menginventarisir pemetaan kawasan hutan adat agar kemudian hari tidak terjadi konflik.
Terkhusus dalam hal ini kami sangat berharap bahwa pemerintah hadir untuk segera menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai, Desa Long Bentuq terhadap PT Subur Abadi Wana Agung, supaya konflik belasan tahun ini bisa terselesaikan dengan baik dan adil.
Dirinya juga berharap bahwa pemerintah harus lebih mengedepankan kepentingan masyarakat adat dibandingkan pihak swasta serta persoalan pengakuan terhadap masyarakat adat & perlindungan terhadap kawasan hutan adat harus menjadi priotitas untuk segera diselesaikan supaya ada kepastian hukum bagi masyarakat.
“Sahkan RUU Masyarakat Adat Agar Tidak Ada Lagi Kriminalisasi Tokoh Adat seperti yang terjadi di beberapa tokoh Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai, Desa Long Bentuq, Kutai Timur, Kalimantan Timur yang sedang berjuang mempertahankan tanah Adat mereka,” pungkas Romondus Romi kepada awak media ini.
Jurnalis : Yohanes Eka Irawanto, SE