SUAKA. JELANG kepulangan tokoh kita tempo hari, sempat berkembang wacana apakah bisa jadi Ayatullah Khomeini jilid II. Untuk jelasnya, apakah tokoh kita ini bisa jadi the Icon of Revolution. Icon revolusi.Â
Pertanyaannya, apakah icon untuk menggerakkan gelombang revolusi sebagai buah dari ledakan kemauan kolektif rakyat, ataukah sekadar menggerakkan riak-riak dan buih-buih revolusi belaka?
Maka ada baiknya belajar sejarah keberhasilan Khomeini saat pulang ke Teheran ibukota Iran, dan menggulingkan Syah Iran sebagai raja terakhir dinasti Pahlevi.
Apa prasyarat dan kriteria sebagai ikon revolusi yang efektif sehingga Khomeini yang ketika pulang dari masa pengasingan di Prancis kemudian berhasil mendirikan Republik Islam Iran pada 1979?
Pertama, sebagai ikon Khomeini tahu apa maunya dan tahu bagaimana menggerakkannya.
Kedua, punya peta jalan untuk mewujudkan kemauan atau agendanya maupun cara bagaimana membangun pergerakan yang massif dari semua simpul-simpul masyarakat Iran.
Ketiga, paham motif-motif geopolitik negara-negara adikuasa, terutama Amerika dan Inggris yang kala itu memang musuh utama Khomeini dan para mullah-mullahnya. Bahkan tahu persis dinamika dibawah permukaan yang sedang bergejolak secara diam-diam di Gedung Putih.
Untuk poin pertama dan kedua, Khomeini bukan saja sudah tuntas. Bahhkan siap memperluas dan mengajak lingkup dukungan yang lebih luas, meskipun bukan dalam barisannya sendiri dari kalangan mullah, seperti Dr Bani Sadr, Sadek Gotzadek yang notabene merupakan para intelektual dan ekonom didikan Prancis dan Barat.
Sehingga malah mengundang kesan dan ilusi dari negara-negara barat, bahwa begitu Syah Iran tumbang, Khomeini jadi pemimpin revolusi tapi cuma ngurus fikih dan syariat saja. Sedangkan skema ekonomi dan kebijakan luar negeri tetap dikuasai Bani Sadr dan Gotzadeh yang pada dasarnya binaan barat.
Karena pihak barat menyangka bahwa dalam formasi yang seperti itu Amerika bisa tetap melanggengkan kepentingan globalnya terutama minyak mentah Iran karena para mullah cuma bakal jadi boneka. Maka AS yang waktu itu di bawah presiden Jimmy Carter dan arsitek keamanan nasionalnya adalah Zbigniew Brzezinski, mulai melakukan operasi intelijen melumpuhkan rejim Syah Iran dari dalam.
Caranya, membujuk Syah Iran membebaskan para tawanan politiknya, sedikit melonggarkan iklim demokrasi, dan yang sejenis dengan itu. Pelanggaran HAM dilonggarkan semaksimal mungkin. Dan salah satunya adalah kepulangan Khomeini.
Dan yang lebih menarik lagi, Syah Iran berhasil dibujuk buat hengkang dari Iran dan lari ke luar negeri. Antara lain ke Mesir, dan setelah itu ke Amerika, Singkat cerita, oleh karena ketiga kriteria dan prasyarat revolusi yang menempatkan Khomeini jadi ikon revolusi berhasil. Maka kejatuhan Syah Iran maupun dinasti Pahlevi pada hakekatnya bukan sekadar buah dari riak dan buih revolusi, melainkan merupakan buah dari gelombang revolusi.
Karena Khomeini lebur menjadi bagian dari ledakan kemauan kolektif rakyat Iran dari berbagai lapisan masyarakat. Baik sipil maupun militer.
Adapun bertautan dengan kriteria poin dua dan tiga berhasil dirajut dan dijembatani dengan sangat cerdas oleh Khomeini, karena di barisan para mullah ada seorang genius di bidang diplomasi dan intelijen. Yaitu Ayatullah Behesti.
Adalah Ayatullah Behesti yang dalam situasi kritis jelang peralihan dari rejim Syah Iran ke Republik Islam Iran, mengadakan perundingan yang cukup alot dengan Panglima Armada Ke-4 Jenderal Robert Harkins. Sehingga AS melalui diplomasi tingkat tinggi dan didukung informasi-informasi intelijen, Behesti berhasil secara gemilang memaksa Jenderal Harkins agar tentara AS bersikap pasif saat Khomeini mengambil oper pemerintahan Iran.
Bahkan menariknya lagi, dalam salah satu klausul kesepakatan dengan Panglima Armada ke-4 Jenderal Harkins, Khomeini seakan mengalah dengan berjanji tidak akan membubarkan angkatan bersenjata Iran peninggalan Syah Iran.
Padahal dalam benak Khomeini dan para mullah, memang itulah strategi mereka. Membiarkan tentara Iran tidak dibubarkan. Tapi sistem kemiliteran Iran pasca Syah Iran, justru bertumpu pada kesatuan baru yang dibentuk Khomeini, yaitu Pasdaran.
Dari fragmen peran yang dimainkan Ayatullah Behesti itu saja, sudah tergambar bahwa skenario barat semula akan menunggangi revolusi Khomeini akan berjalan melalui dua agen proxy-nya, Bani Sadr dan Gotzadeh, sebenarnya sudah salah hitung.
Dan benar saja, kedua orang itu meski akhirnya sempat jadi presiden dan menteri luar negeri, tapi akhirnya tergilas oleh gelombang revolusi. Karena baik Amerika maupun kedua agen proxy-nya itu menyangka, Khomeini cuma akan digunakan sebatas menggerakkan buih dan riak revolusi.
Hasilnya? Hingga kini Republik Islam Iran sebagai buah dari gelombang revolusi Islam Iran 1979, masih tetap bertahan dan berdiri kokoh.
Bagaimana dengan tokoh kita ini? Lha ini, ini, ini. Sepertinya ketiga kriteria tadi belum terajut dan terorganisir secara utuh, jika memang tokoh ini hendak dplot sebagai ikon dan penggerak gelombang revolusi.
Kecuali, kalau tujuannya hanya menggerakkan riak2 dan buih2 revolusi. Hanya sekadar jadi medan proxy antar elit2 oligarki yang sedang cari cara dan celah, untuk ngocok ulang kartu.
Penulis adalah Hendrajit, pengkaji geopolitik dan wartawan senior.
Editor : witanto / redakai suarakalimantan.com