SUAKA, Palangka Raya – “Para mahasiswa sebagai kelompok pemuda harus bangkit melawan ketidakadilan sosial di negeri-negeri mereka sendiri. Para mahasiswa harus mengoreksi kepemimpinan formal di suatu negeri.” (Sutan Syahrir)
MAHASISWA sebagai kaum menengah terdidik mempunyai peran sentral dalam perkembangan kehidupan berdemokrasi negeri ini. Jika dirunut lebih dalam konstelasi kehidupan berbangsa atau perubahan sosial negeri ini selalu menampilkan mahasiswa atau kelompok pemuda sebagai salah satu aktor penting di dalamnya.
Mahasiswa mempunyai peranan penting dalam mengubah sejarah kebangsaan dan perjalanan demokrasi. Catat saja bagaimana peranan mahasiswa mampu mengubah wajah perpolitikan saat ini yaitu dengan gerakan reformasinya. Jauh beberapa tahun ke belakang kita mengenal angkatan gerakan kemahasiswaan dengan segala momentum sejarah kebangsaan di tanah air.
Kebangkitan pemuda yang dimulai pada era 1908 kemudian era sumpah pemuda 1928 melahirkan tokoh-tokoh besar kepemudaan kala itu yang akhirnya berada pada lingkar kekuasaan di masa berikutnya. Tidak bisa dimungkiri bahwa elit pengemban demokrasi pada masa sekarang pun adalah mereka yang dulunya adalah aktivis mahasiswa di era 90an.
Tidak dapat dipungkiri pada akhirnya miniatur pembelajaran proses berdemokrasi lahir dan berkembang di dunia kampus. Benar jika mahasiswa merupakan iron stock kepemimpinan suatu bangsa di masa yang akan datang, mereka mengalami pembinaan dan pembentukan karakter melalui proses yang dinamakan dengan gerakan mahasiswa yang di dalamnya pun kental dengan demokrasi ala mahasiswa.
Demokrasi ala mahasiswa yang dimaksud adalah demokrasi dalam menjalankan sistem negara mahasiswa yang jelas merupakan miniatur sistem kenegaraan yang sesungguhnya. Dari mulai undang-undang dasar sebagai pedoman filosofis, sistem pemerintahan dengan semua perangkat yang ada di dalamnya, forum-forum mahasiswa, sampai pada proses berdemokrasi dengan pesta demokrasi yang juga ala mahasiswa yang biasa disebut pemilihan raya (pemira) mahasiswa yang dilakukan berjenjang dari tingkat jurusan, fakultas hingga universitas.
Pesta demokrasi ala mahasiswa juga merupakan miniatur pesta demokrasi sesungguhnya. Pemira dengan segala dinamikanya dari mulai proses kampanye yang dibumbui pula dengan marketing politik, penerapan metode kampanye dari mulai positif campaign yang coba menampilkan segala bentuk kelebihan diri, negatif campaign dengan menampilkan segala kekurangan lawan sampai pada black campaign. Pemira, layaknya sebuah kontestasi yang sejatinya akan berujung pada konstruksi kehidupan berdemokrasi, lagi-lagi ala mahasiswa.
Demokrasi ala mahasiswa juga dituntut untuk tetap independen dari berbagai pihak eksternal. Pertama, dalam kaitannya dengan birokrasi kampus, yaitu kebijakan sebuah perguruan tinggi (otonomi kampus) lewat aturan tata kelola yang dibuat jangan sampai membatasi kegiatan kemahasiswaan terlebih mengarah pada pola NKK/BKK jilid 2. Kondisi ini perlahan mulai terlihat kembali terjadi di beberapa kampus.
Kedua, independen dari kepentingan organisasi ekstra kampus dalam kepentingan politik praktis. Terlebih gerakan mahasiswa adalah gerakan yang berlandaskan intelektualitas dan moralitas. Ketiga, independen dari pengaruh pemerintahan, karena sejatinya gerakan mahasiswa dituntut untuk menjadi mitra kritis, mampu memberikan koreksi kepemimpinan formal serta solusi atas permasalahan yang dihadapi. Bahkan lebih dari itu mahasiswa sebagai motor penggerak pembaharuan merupakan alat kontrol yang ampuh bagi pemerintah.
Demokrasi ala mahasiswa sejatinya merupakan gerakan moral yang dibangun dengan semangat kekeluargaan, keilmuan, kemasyarakatan, serta keterbukaan yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi gerakan politik ketika rezim sudah mulai tidak berpihak kepada rakyat. Sebuah miniatur yang menggambarkan proses pendewasaan kehidupan berdemokrasi yang sesungguhnya. Iron stock sebagai bekal kepemimpinan berikutnya.
Demokrasi ala mahasiswa akan terus hidup karena perjuangan pergerakan kemahasiswaan akan selalu ada selamanya sebagai agen pengubah, kekuatan moral, dan bekal masa depan untuk mengusung cita-cita perjuangan negara.
Dalam tulisan ini saya mau mengupas tentang pemilihan Ketua Keluarga Mahasiswa Katolik UPR yang sudah menghasilkan keputusan tertinggi ala mahasiswa.
Sebelum lebih jauh saya sempatkan mengucapkan selamat kepada saudara Ketua dan Wakil Ketua KMK UPR terpilih. Baik saya lanjutkan kembali ke agenda MUSMA KMK UPR, terlihat dengan jelas bahwa dari perolehan suara dari tiga pasang calon ketua dan wakil ketua ini terkesan aneh bahkan sangat tidak wajar atau lebih parah lagi demokrasi tidak jelas yang di mainkan namun oleh siapa, saya menilai ini satu hal yang memalukan sekali.
Dari ketiga pasangan calon terpaut jauh dan bahkan ada pasangan calon Ketua dan Wakil tanpa memperoleh suara sama sekali. Melihat situasi ini apa pun alasan nya hasil MUSMA KMK UPR TAHUN 2019 sangat lah memalukan.
Apa pun alasannya ketika siap maju minimal wajib siap untuk memilih dirinya sendiri bukan memilih dan memenangkan orang lain, bisa kah hasil ini disebut yang terbaik, menurut saya tidak ini kemunduran demokrasi MAHASISWA KATOLIK UPR.
ENTAH, apa yang merasuki sang calon Ketua dan Wakil Ketua KMK UPR tanpa suara itu. Siapa yang tepat untuk disalahkan dalam situasi ini pada hal sang calon tanpa suara saya sangat ketahui kapasitasnya. Aktif di kegiatan dan selalu ada untuk organisasi. Namun sayang sang calon tanpa suara melukai dirinya sendiri atau lebih tepat nya bunuh diri atas situasi ini. #SUAKA
(Yohanes Eka Irawanto, SE)
Penulis adalah Pendiri dan Ketua Pertama KMK UPR