Sekjen LEKEM KALIMANTAN: Sebanyak 679 –dari 1.404 IUP– masuk daftar wajib jamrek. Masih banyak yang menunggak hingga lubang tak di reklamasi menyebabkan sedikitnya 34 nyawa manusia hilang sia-sia.
SUAKA – KALTIM. Sepeninggal perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur melahirkan ribuan danau-danau tak bertuan yang terkesan melupakan kewajiban terhadap lingkungan. Kandungan emas hitam yang semula tertimbun tanah serta dibalut dengan rindangnya pepohonan, terlihat sudah menjadi danau buatan yang terbengkalai. Alih-alih dikembalikan seperti semula dengan reklamasi, bekas galian batu bara tersebut menjadikan lubang maut yang merenggut sedikitnya 34 nyawa manusia.
“Pasca tambang di wilayah Kaltim ini sedikitnya 70 persen lubang tambang belum direklamasi. Kaltim pun jadi mayoritas dari 1.735 lubang tambang yang ditemukan di Indonesia,” kata Dr. Abdul Sani, M.Pd, kepada awak media ini
Menurut Sekretaris Jenderal Lembaga Kerukunan Masyarakat (LEKEM) Kalimantan ini realisasi jaminan reklamasi atau jamrek tidak maksimal dipungsikan.
Bahkan katanya saat ini ada 679 perusahaan tambang masuk yang termasuk didalam daftar wajib dana jamrek yang berasal dari 1.404 izin usaha pertambangan (IUP).
Dari 679 wajib jamrek itu pun, baru 413 perusahaan yang menyetorkan atau hanya 60 persen di antaranya.
(selengkapnya lihat infografis).
Sebanyak 679 –dari 1.404 IUP– masuk daftar wajib jamrek. Masih banyak yang menunggak hingga lubang tak di reklamasi menyebabkan sedikitnya 34 nyawa manusia hilang sia-sia.
Kewajiban membayar dana jamrek ini berdasarkan amanatkan Undang-Undang 9/2009 tentang Pertambangan Minerba, besarannya tergantung pada permohonan permulaan pembukaan lahan, ujar Sani.
“Persentasinya dihitung menurut luasan dan kedalaman konsesi tambang yang akan digarap,” katanya.
Menurut ketentuan, setelah pembayaran dana reklamasi, uang disetor ke rekening bersama. Ditandatangani perusahaan penerima izin dan pemerintah sebagai pemberi izin.
“Jika hanya satu pihak tanda tangan, dana tersebut tidak bisa cair,” sebut Sani dalam relesannya kepada suarakalimantan.com, Minggu (30/6/2019).
Skema pembiayaan bersumber dari deposito yang diwajibkan kepada penerima izin, yaitu jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.
Namun kata Sani, selama ini pemerintah kesulitan menagih dana jaminan reklamasi tersebut dikarekanan aktivitas perusahaan yang sudah tutup maupun sulit dilacak keberadaannya.
Sani memaparkan, terdapat empat rekening bank menampung dana jamrek yang disetor pemegang IUP se-Kaltim. Tersimpan dalam bentuk deposito bersama. Untuk mencairkan, perlu persetujuan dari pihak Pemprov dan perusahaan penyetor.
Menurut data yang didapatkan, masih banyak perusahaan tidak memenuhi kewajibannya.
Tidak sedikit perusahaan yang tidak menyetor dana jamrek. Ditahun 2017 saja, pemilik konsesi tambang 376,4 hektare di Kutai Kartanegara didapati tunggakan Rp 4,8 miliar dari 2014-2016. Ada juga pemilik konsesi 312 hektare di Samarinda menunggak Rp 557,5 juta. Sedangkan pemilik konsesi 196 hektare di Kelurahan Loa Bakung, Sungai Kunjang, Samarinda, menunggak Rp 189,4 juta.
“Gubernur Kaltim bisa meminta untuk mencari perusahaan yang mangkir dan tidak bertanggung jawab. Kemudian memanggil pelaku usaha. Mengerahkan sumber daya yang ada untuk mencari alamat dan keberadaannya,” kata Abdul Sani.
Pelaksanaan reklamasi pasca tambang ini, terang Sekjen LEKEM KALIMANTAN ini, tertuang dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Peliknya, ketentuan itu tak memerinci prosedur reklamasi yang seharusnya. Penutupan lubang sebatas kegiatan reboisasi atau revegetasi. Mengembalikan galian sebagaimana kondisi semula, diklaim sulit dilakukan.
Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara, Dinas ESDM Kaltim, Baihaqi Hazami, menjelaskan penyebab karut-marutnya proses reklamasi pascatambang. Masalah berawal dari kewenangan di tingkat pemerintahan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada Pemprov Kaltim.
Dari 1.404 IUP dilimpahkan pada 2014, tidak semuanya didapati menambang. Ada yang sebatas mengantongi izin. Ada pula baru melaksanakan kegiatan eksplorasi. Termasuk yang sudah tahap produksi.
“Kami tidak bisa juga asal menyalahkan prosesnya pada masa lalu tersebut. Walaupun memang ada kesalahan di sana yang berdampaknya sekarang,” kata Baihaqi Hazami saat dihubungi awak media ini, Minggu (30/6/2019).
Jamrek tak bisa asal digunakan. Dana berupa deposito bagi pengusaha tambang, hanya bisa dicairkan penyetor setelah memenuhi tanggung jawab reklamasi. Sebaliknya, bila mangkir dari kewajiban, dana jadi hak Pemprov Kaltim.
Namun demikian, lanjut Baihaqi, banyak masyarakat gagal paham. Beranggapan dana jamrek bisa menutup lubang tambang secara keseluruhan.
“Padahal tidak begitu. Tanggung jawab reklamasi itu di perusahaan masing-masing,” ujar Baihaqi Hazami.
Dana jamrek tersimpan di bank BUMD dan BUMN atas nama Gubernur Kaltim. Yang tersimpan saat ini adalah Rp 279 miliar ditambah dana jaminan pascatambang Rp 94 miliar. Rata-rata perusahaan yang telah menyetor adalah yang masih beroperasi.
“Jadi tidak bisa dana Rp 279 miliar digunakan menutup lubang ilegal. Nanti ketika ada perusahaan sudah menyelesaikan tugas, tidak ada lagi dana mau dicairkan. Bisa dituntut kami,” terang Baihaqi.
Penetapan dana jamrek dihitung berdasar luas pembukaan lahan. Beberapa aspek lain termasuk proses mobilisasi peralatan tambang. Beda lokasi, beda pula nilainya. Ketentuan dan dasar penetapan yang kemudian muncul dalam dokumen rencana reklamasi, ditetapkan melewati teknis penghitungan dari inspektur tambang.
Selanjutnya, dokumen diajukan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim untuk menerbitkan perintah penempatan jamrek. Bukti setoran dana berupa deposito dan bank garansi, selanjutnya diserahkan kepada DPMPTSP Kaltim dengan tembusan ke Dinas ESDM Kaltim.
Sedangkan bagi perusahaan yang masih aktif dan beroperasi produksi, pencairan diajukan kepada Pemprov Kaltim sesuai luasan yang direklamasi. Inspektur tambang terlebih dulu meninjau dan mempelajari lokasi, sebelum memberi surat rekomendasi kepada DPMPTSP Kaltim, ucap Baihaqi.
Tahap akhir berproses di DPMPTSP Kaltim yang menginstruksikan kepada perbankan untuk mencairkan kepada perusahaan terkait. Biasanya, dokumen rencana reklamasi diselesaikan pada awal tahun.
Sementara bagi perusahaan yang mangkir dari kewajiban, dana jamrek jadi hak pemerintah. Pencairan dilakukan atas klaim setelah perusahaan beberapa kali menolak panggilan pemerintah. Namun, sejauh ini, belum satupun dana jamrek diambil Pemprov Kaltim.
Menurut Baihaqi, lubang tambang yang banyak menganga berasal perusahaan yang tak lagi beroperasi. Demikian juga bekas aktivitas tambang ilegal.
“Mereka belum setorkan dana jamrek. Sisanya bisa jadi belum membayar atau sudah membayar tapi bukti-buktinya masih perlu ditelusuri,” ucapnya.
Dinas ESDM Kaltim menegaskan komitmen mengejar setoran jamrek pengusaha tambang. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dilibatkan. Perusahaan yang sudah tak beroperasi namun belum menyelesaikan kewajiban, jadi buruan. “Tapi kalau orangnya belum meninggal,” tukas Baihaqi.
ESDM Kaltim dan BPK RI disebut keteteran. Kebanyakan pengusaha merupakan investor dari luar Kaltim. Bahkan dari luar negeri. Kerap ditemukan alamat yang tidak sesuai. Selain itu, data pengusaha yang dikantongi ESDM juga banyak telah meninggal dunia. Tak sedikit hilang jejak dan tidak jelas rimbanya.
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi tidak bisa terus-terusan membiarkan bekas galian menganga. Gubernur Kaltim Isran Noor mewacanakan penutupan dengan biaya APBD. Pemprov saat ini tengah mendalami dasar hukum yang memungkinkan kebijakan tersebut. Dan yang di prioritaskan adalah lubang bekas tambang dekat permukiman.
Sejauh ini, Baihaqi menjelaskan, penutupan lubang tambang dilakukan perusahaan dengan hasil galian lubang tambang yang baru. Atau dikenal dengan pola backfilling. Metode ini juga diatur dalam undang-undang. Namun, dalam praktiknya perusahaan kerap menyisakan satu lubang yang dibiarkan.
Dalam beberapa kondisi, lubang tambang sengaja tidak ditutup dengan pertimbangan tertentu. Salah satunya air dari kolam tambang yang dimanfaatkan untuk keperluan warga atau pertanian. Secara teknis, jika lubang dibiarkan atas permintaan warga, tanggung jawab revegetasi dijalankan di sekitar bekas galian.
Menurut data kantor di Dinas ESDM Kaltim, reklamasi pasca tambang setiap satu hektare memerlukan USD 12,5 ribu atau setara Rp 176.631.250. Jika dikalkulasi dengan simpanan dana jamrek dan pascatambang, konsesi yang ter-cover dana tersebut sekitar 2.111 hektare. Padahal, menurut presentasi Gubernur Kaltim pada 2018 silam, luas lubang tambang yang menganga di Kaltim menembus 1,3 juta hektare, beber Baihaqi Hazami.
Dari evaluasi serta finalisasi Dinas ESDM Kaltim, jumlah IUP tercatat sampai Juni 2019 adalah 382 yang sudah clean and clear. Sedangkan IUP masih mengajukan proses perpanjangan mencapai 133. Dengan luas area pertambangan yang terdata, dana jamrek tentu jauh dari cukup. Medan pertambangan yang sulit, memerlukan biaya mobilisasi yang tidak sedikit. Selain reklamasi, revegetasi pun sangat bergantung pada medan, area, situasi, dan teknis pengelolaan tanah permukaan oleh perusahaan pertambangan itu sendiri.
Reklamasi yang diartikan sebagai proses pemulihan fungsi lahan, sosial, ekonomi, dan lingkungan, tak cukup dijalankan satu atau dua tahun. Malah bisa sampai 20 tahun. Sejatinya pun demikian tak ada reklamasi tambang yang benar-benar dilaksanakan untuk mengembalikan tanah ke kondisi semula, suguhnya.
Editor : barlis irawan