SUAKA – JAKARTA. Pernyataan Dirut PLN (Persero) Sofyan Basir bahwa perusahaan itu kaya ‘seperti’ benar jika melihat bahwa jumlah Direksi dijaman Nur Pamudji dan sebelumnya Dahlan Iskan cukup hanya 5 orang, namun sekarang 13 orang. Malah selentingan menyebut hendak ditambah lagi 1 orang.
Dijajaran Direksi ada 7 orang Direktur Bisnis Regional dan 2 Direktur Pengadaan lalu dibawah mereka menjadi harus ada 40an orang Kepala Divisi. Begitu juga kantor Wilayah. Dahulu, termasuk Dilli, hanya ada 10 orang, namun sekarang hampir di tiap provinsi ditempatkan Kanwil.
Kanwil membawahi Unit Induk Pembangunan (UIP), dahulu hanya 5 orang sekarang 16. Dan General Manager (GM) yang dahulu hanya 15, sekarang 54 orang.
Padahal sekarang era komputerisasi dan digital yang membuat peran manusia semakin berkurang, tapi itu tidak berlaku bagi Sofyan Basir.
Dia menjadikan ‘pembengkakan’ disemua lini, dari atas sampai bawah walau kemudian terjadi tumpang tindih pekerjaan. Itu semia mungkin yang pertama menjadi ukuran bagi dia untuk menyatakan PLN kaya.
Ukuran kedua, bisa jadi karena dia mampu menempatkan ‘orangnya’ diposisi keuangan, SDM, pengadaan dan satuan pemeriksa interen (SPI). Ini jarang bisa dilakukan oleh seorang Dirut pasca Presiden SBY.
Gaji, biaya operasional dinas, biaya perobatan, bonus dan potongan dana pensiun dinaikkan jor-joran, ini mungkin ukuran ketiga.
Parameter keempat bagi Sofyan yang mantan Dirut BRI, mungkin karena Maxpower, anak usaha bank ‘kaya’ didunia, Standard Chartered ikut membangun dua PLTG sebesar 40MW. Yang kemudian ternyata bank itu bermasalah, hampir berbarengan dengan ada pernyataan anggota Komisi III DPR RI Ruhut Sitompul yang mengaku ada tahu nama direktur utama di salah satu perusahaan BUMN bidang energi sedang dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima uang panas di Singapura. Kita tidak tahu sudah seperti apa Komisioner KPK menangani hal yang memalukan itu.
Yang kelima, terjadi pendiaman kasus penggelembungan biaya pembelian mesin untuk PLTD padahal resume kerugian PLN sampai sebesar Rp. 141.004.354.110. Itu didiamkan Sofyan padahal sudah dilaporkan oleh tim SPI berinisial SDP melalui nota dinas nomor 00485/SPI.02.01/SPI/2015.
Diduga laporan itu ‘didrop’ atas perintah Dirut kepada pimpinan SPI. Seluruh data lengkap berupa kertas kerja sudah disampaikan juga ke KPK tahun lalu namun lagi-lagi mandeg.
Sudah dua kali KPK tercium tidak menggubris persoalan di PLN.
Lalu keenam, tahun 2015 ada pengadaan sebesar Rp 7,6 triliun di PT. Pelayanan Listrik Nasional (PLN) Batam, anak perusahaan PT. PLN (Persero) dengan metode penunjukan langsung. Setelah ditelusuri SPI ternyata ditemukan perbuatan melanggar hukum yang dirancang sedemikian rupa. Modusnya diduga diawali perbincangan lisan antar Direksi guna menugaskan pengadaan 20 unit mesin MPP dengan daya masing-masing 25 MW.
Untuk mengelabui tertib administrasi maka seolah-olah ada diberi penugasan, setelah Direksi PLN memberi penugasan lalu dilakukanlah proses pengadaan dengan melakukan market reset memanggil 3 perusahaan meminta penawaran kesanggupan memenuhi permintaan dalam waktu 6 bulan.
Padahal pengadaan dengan modus seperti itu tidak sesuai dengan aturan, sehingga Maret 2016 dibuat perubahan atas peraturan pengadaan yang mengijinkan penunjukan langsung.
Diduga perubahan itu dibuat tanggal mundur seolah-olah perubahan dilakukan sejak 1 Oktober 2014 agar penunjukan sebesar 7,6 triliun itu terkesan sah.
Lagi-lagi, KPK yang sudah memegang semua data tersebut terbukti hanya diam.
Yang terakhir, ini mungkin yang paling kuat untuk membuktikan kekayaan PLN seperti sesumbar Basir adalah saat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan pemberian pesangon terhadap 8 orang yang bertugas di sekretariat Dewan Komisaris PLN tetapi kemudian sebagian dari mereka ternyata dipakai kembali dengan cara dibayar harian.
Entah karena kaya lalu sesuka hati berboros ria.
Sedemikian banyak terjadi ‘pemborosan’ di BUMN kaya tersebut sampai kemudian beredar surat dari Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN bernomor S-781/MK.08/2017 tanggal 19 September 2017 yang menyinggung tentang kondisi makin memburuknya ‘kesehatan’ keuangan PT PLN (Persero).
Dari itu semua, munculnya beberapa pertanyaan, diantaranya :
Masih mampu kah publik melawan pernyataan Sofyan Basir bahwa PLN kaya?
Masih benarkah kekhawatiran Menkeu yang meragukan kekayaan PLN?
Atau Sofyan Basir yang benar sementara KPK benar-benar keterlaluan tidak memproses semua laporan itu?