Menguak Cerita 30 September 1965

Sejumlah korban/keluarga tragedi kemanusiaan 1965/1966 melakukan aksi damai di gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (8/5). Mereka mendesak sidang paripurna untuk mengumumkan segera hasil penyelidikan peristiwa 1965/1966 terbuka.

SUARA KALIMANTAN

, Yogyakarta – Perempuan ternyata mengalami trauma lebih mendalam dibandingkan lelaki dalam tragedi kekerasan 1965. Para aktivis Syarikat Indonesia mulai menggali apa yang terjadi pada perempuan dalam kasus kekerasan pascatragedi 1965. Ditemukan, perempuan menjadi sasaran dan obyek kekerasan seksual berat sekali. Dampak psikologisnya, dirasakan hingga saat ini.

“Setiap 30 September, televisi di rumah dimatikan karena menimbulkan histeria,” kata Pipit Ambarmirah, Ketua Kiprah Perempuan Indonesia, yang ditemui di sela diskusi Jalan Sunyi Penyintas Genosida di Sekretariat Syarikat Indonesia di Yogyakarta, Jumat, 22 September 2017.

Kiprah Perempuan diinisiasi Syarikat Indonesia pada 2006. Syarikat Indonesia adalah organisasi yang didirikan para aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) pada 2000 yang termotivasi gagasan rekonsiliasi yang dibidangi presiden keempat Abdurrahman Wahid.

Dimotori Imam Aziz, organisasi ini membangun rekonsiliasi dengan para eks tahanan politik (tapol) 1965 dengan terlebih dulu mengungkap kebenaran yang dialami mereka. Misi kemanusiaan Syarikat adalah mengharapkan para eks tapol kembali menjadi sebagai warga negara utuh. Mereka sukses membuka komunikasi dengan para eks tapol di 35 kota dan mengajari mereka hidup membaur dan mandiri.

Menurut Pipit, banyak perempuan penyintas harus berjuang keras mengobati trauma masa lalunya. Mayoritas dari mereka, mengalami pelecehan seksual berat saat ditangkap, diinterogasi dan dipenjara dengan tudingan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi underbouw-nya. Banyak dari mereka menjadi tahanan politik di Penjara Bulu, Plantungan, dan Ambarawa serta umumnya pernah mengalami penyiksaan. “Semua perempuan yang diciduk dan kami wawancarai mengaku mengalami pelecehan seksual. Tidak ada yang tidak,” kata Pipit Ambarmirah.

Baca Juga:  Pelantikan Mabiran dan Kwarran Pantai Lunci

Butuh waktu lama Pipit dan timnya, mendapatkan pengakuan para perempuan penyintas it. Menurut Pipit, trauma masa lalu membuat perempuan penyintas tak mudah menceritakan masa silamnya. “Butuh waktu berkali-kali untuk bertemu dalam proses pendampingan. Ada juga yang baru mau bercerita setelah pertemuan ke-10 atau ke-15,” kata Pipit.

Trauma karena kekerasan yang cukup sadis dialami para perempuan. Mereka tak hanya distigma dan dituduh kemudian dipenjara, tapi penyiksaan seksual itu semakin membenamkan luka mereka atas dalih yang kadang tak masuk akal. Ngatiyar, aktivis LSM Mitra Wacana, yang pernah meriset soal PKI pada 2009 dan 2013 untuk tesis S-2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menemukan beberapa fakta kekerasan itu.

Menurut Ngatiyar, ada fakta perempuan di sebuah desa yang menjadi daerah riset Ngatiyar, ditangkap dan disiksa karena cinta yang tak kesampaian. Dia mencontohkan, ada sinden yang menolak cinta seorang laki-laki di desa itu.

Lantaran ditolak dan sakit hati, sinden itu diisukan aktif dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sedangkan Gerwani sendiri dituding terlibat melakukan penyiksaan terhadap tujuh jenderal di Lubang Buaya, Jakarta. Sinden itu pun diinterogasi dan mengalami pelecehan seksual. Dia dipaksa menunjukkan kemaluannya dengan dalih mengecek di situ ada cap PKI atau tidak.

Modus pencarian cap PKI pada kemaluan, menurut Pipit, adalah dalih untuk memaksa perempuan melepas bajunya dan mengalami pelecehan seksual. Modus ini juga ditemukan di banyak perempuan penyintas. Dengan kekerasan seperti itu, banyak perempuan penyintas memilih diam untuk tidak membicarakan masa lalunya.

Dibaca 22 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top