SUAKA – JOGJAKARTA. Wacana pemindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta ke Kota Palangkaraya kembali menguat. Pakar pembangunan wilayah UGM, Dr. Lutfi Mutaali, M.T., menyebutkan daerah yang dipilih menjadi ibu kota negara nantinya sebaiknya merupakan daerah atau kota yang memiliki keterbukaan wilayah yang tinggi, terutama yang berada di alur laut kepulauan Indonesia.
“Sebaiknya dipilih yang memilki keterbukaan wilayah tinggi, terutama di jalur laut. Kalau Palangkaraya inklusivitas wilayahnya cenderung tertutup,” jelasnya dalam seminar “Kemana Ibu Kota Negara Indonesia akan Dipindah” di Fakultas Geografi UGM, Rabu (30/8)……
Selain inklusivitas fisik yang tinggi, Lutfi mengatakan kota yang akan dipilih sebaiknya juga mempunyai inklusivitas sosial tinggi. Inklusivitas tinggi ditandai dengan keterbukaan terhadap perubahan yang terlihat pada masyarakat homogen.
Dari kedua kriteria tersebut, Lutfi merekomendasikan ibu kota negara di di Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten tersebut dinilai memiliki keterbukaan fisik dan sosial yang tinggi dibandingkan dengan Palangkaraya maupun kota lainnya di Pulau Kalimantan.
Sedangkan Pakar Geomorfologi UGM, Prof.Dr.rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc., menambahkan pemilihan ibu kota baru hendaknya juga harus memperhatikan risiko bencana di masa depan. Daerah yang dipilih sebaiknya adalah kota atau kabupaten yang memilki risiko bencana rendah. Pulau Kalimantan dipandang tepat untuk dipilih sebagai tujuan pemindahan ibu kota negara karena relatif aman dari bencana geofisik, seperti gempa maupun letusan gunung berapi.
Namun demikian, dikatakan Junun, terdapat beberapa wilayah lain seperti Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan gambut rentan terhadap bencana kebakaran. “Kalau dari analisis risiko bencana wilayah yang cocok untuk dijadikan ibu kota di bagian depan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan,” katanya.
Guru Besar Bidang Pembangunan Regional UGM, Prof.Dr.M. Baiquni, M.A., mengatakan kunci pengembangan ibu kota adalah adanya relasi yang sinergi anatra kota dan desa. Pasalnya, selama ini hubungan yang terjadi adalah tidak simestris antara kota dan desa. “Ibukotanya itu ya desa. Jadi, konsepnya pemindahan ibu kota adalah memindahkan pembangunan yang bisa menumbuhkan kota di desa-desa,” tuturnya.
Sementara pakar pembangunan wilayah Fakultas Geografi UGM, Prof.Dr. R. Rijanta, M.Sc., mengatakan pemindahan ibu kota sebaiknya bukan hanya didasarkan faktor Jakarta yang macet dan semrawut. Pasalnya, pemindahan ibu kota tidak akan menjadi solusi atas persoalan tersebut. “Pemindahan ibu kota ini seyogianya untuk koreksi kesenjangan nasional, bukan hanya untuk mengurai keruwetan Jakarta,” jelasnya.
Menurut R. Rijanta, yang harus menjadi arus utama dalam pembuatan keputusan nasional pemindahan ibu kota adalah untuk mengurangi kesenjangan nasional. Selain itu juga didasarkan pada tujuan untuk mengeliminasi kemiskinan. “Perlu ada dorongan untuk mengampanyekan perlunya pemindahan ibu kota ini dengan segera,” katanya. (TIM)