SUAKA – BANJARMASIN. Ternyata permasalahan pembebasan tali asih ganti rugi lahan di bantaran Sungai Kelayan, Kota Banjarmasin, masih saja meninggalkan permasalahan, alias tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya, dikarenakan masih adanya beberapa warga yang keberatan dengan program revitalisasi sungai yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin yang ditangani oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Permasalahan program revitalisasi sungai ini adanya ganti rugi tanah yang tertunda, dikarenakan surat kepemilikan tanah tersebut dianggap bermasalah oleh TIM pembebasan lahan tersebut, “Rumah saya sudah diganti rugi, namun nilai tanahnya yang belum dibayar,” ujar salah salah satu warga Teluk Kelayan Gang Sejarah Bakti RT. 3 Banjarmasin kepada wartawan Suara Kalimantan, (3/5).
Minggu yang lewat saya datang ke bank KALSEL atas undangan TIM pembebasan lahan program revitalisasi sungai dari pemerintah kota Banjarmasin, namun saya sangat terkejut salah salah seorang TIM dari pemko itu mengatakan kepada saya, bahwa tanah saya tersebut tidak bisa di bayar, padahal tanah tersebut sudah lebih dari 20 Tahun saya kuasai, ujar seorang warga yang enggan namanya disebutkan.
Menurut seorang warga tersebut tanahnya tidak diganti rugi yang namanya enggan disebutkan, karena menurut pihak TIM dari Pemko Banjarmasin, surat tanah saya itu berbentuk Sertifikat Hak Pakai saja, salah seorang TIM pembebasan program revitalisasi sungai tersebut berucap ‘tanah peyan kada bisa kami bayar, masa kami menukari tanah negara’, ucap salah satu warga tersebut menirukan ucapan salah seorang dari TIM program revitalisasi sungai tersebut.
Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM KALIMANTAN) Aspihani Ideris menyatakan, Tanah Hak Pakai pada prinsipnya adalah hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Selain Hak Pakai, ada juga misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha (“HGU”) dan Hak Guna Bangunan (“HGB”).
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA ujar Aspihani, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang telah dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Karena Hak Pakai itu timbul berdasarkan keputusan pemberian oleh pejabat yang berwenang dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Jadi tidak ada istilah pembayaran sewa atau pembayaran lainnya oleh penguasa Hak Pakai.
Selain itupula jika kita menoleh Pasal 42 UUPA, Hak Pakai hanya bisa diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI), orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Aspihani memaparkan, dalam PP No. 24 Th. 1997 Pasal 24 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa penguasaan fisik bidang tanah negara itu selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut, apalagi penguasaan itu diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya dengan itikad baik serta tidak dipermasalahkan oleh masyarakat atau pihak lainnya, maka yang bersangkutan berhak atas tanah itu dan atau juga berhak suratnya ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik, ujar alumnus Magister Hukum Universitas Islam Malang ini.
Menurut Aspihani, bahwa berkenaan dengan program revitalisasi sungai yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman ini perlu kita luruskan, perlu kita dudukan permasalahannya dulu, bahwa pemko bukan membeli dari tanah yang dikuasai oleh masyarakat tersebut, melainkan bersifat ganti rugi atau dengan istilah pihak pemko memberikan tali asih, karena jika itu terjadi jual beli pasti sebelum pembayaran terjadi transaksi tawar menawar atas nilai harga jual beli tanah tersebut dan juga bisa dipastikan masyarakat Teluk Kelayan tidak akan menjual harga dibawah Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) parmeternya, karena lokasinya ditengah-tengah kota Banjarmasin .
Aspihani Ideris menjanjikan akan membantu dan menjembatani masyarakat yang masih bermasalah dengan ganti rugi atas program revitalisasi sungai ini, “lembaga kami siap membantu masyarakat guna penyelesaian ganti rugi lahan tersebut, dan Insya Allah secepatnya akan menemui Sekda Kota Banjarmasin dan Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Banjarmasin,” ujarnya kepada wartawan Suara Kalimantan.
“Adapun dasar hukumnya ganti rugi tersebut atas tanah yang telah dikuasai puluhan tahun oleh masyarakat Teluk Kelayan ini jika kita tidak khilaf terdapat di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan UU No. 2 tahun 2012 Pasal 34 ayat 3 serta Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Pasal 63,” ujar Aspihani.
Selanjutnya Aspihani menuturkan, pengadaan tanah untuk pembangunan siring di bantaran atau program revitalisasi sungai sungai kelayan, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan juga terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta pembebasan tanah ini dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana dikatakan dalam Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012.
Mengenai penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut, kan sudah ditetapkan oleh Penilai, sebagaimana terdapat di Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012. Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan sebagaimana di amanahkan pada Pasal 31 ayat (1) UU 2/2012. Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang juga dipaparkan pada Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012, ujar.Aspihani.
Senada juga dengan Taufik Hidayah SH MH, menurut dia penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik tersebut sebagaimana diatur Pasal 63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. “Nilai ganti kerugian ini berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012”, ujar advokat senior Kalsel ini kepada wartawan Suara Kalimantan.
Selanjutnya Taufik Hidayah memuaskan dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sebagaimana diatur didalam Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012. Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai tanah tersebut atau memiliki objek pengadaan tanah sebagaimana Pasal 1 angka 3 UU 2/2012. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan bersama TIM sebagaimana diatur dalam UU 2/2012, Pasal 37 ayat 2.
Jadi tidak benar jika pihak pemko Banjarmasin menitipkan yang ganti rugi tersebut ke Pengadilan, ujar Taufik Hidayah, terkecuali tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi terhadap penguasa tanah tersebut walau yang bersangkutan hanya memiliki surat Hak Pakai, karena tidak ada permasalahan, maka pihak pemko Banjarmasin tidak benar menitipkan uang ganti rugi tersebut ke Pengadilan. Intinya selama para pemilik tanah yang telah menguasai tanah tersebut, apapun bentuk suratnya, jika tidak ada ganti kerugian atau selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada pemberian ganti kerugian, maka pihak penguasa tanah apapun alas kepemilikan tanahnya tidak wajib melepaskan tanah tersebut ke pihak pemko Banjarmasin. (TIM)