SUARA KALIMANTAN – JAKARTA. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tidak mungkin dilawan dengan cara biasa. Harus ada cara-cara yang tidak lazim, namun kreatif untuk memberantasnya. Sebab ternyata, upaya selama ini belum terlalu ampuh untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dan calon koruptor.
Berbagai strategi sudah dilakukan. Cara yang populer adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang banyak menyeret koruptor ke penjara. Biasanya ini dibarengi dengan teknologi penyadapan, yang sekarang diupayakan dikebiri. Hukuman pun sudah maksimal, walaupun untuk beberapa kasus dinilai masih terlalu ringan.
Hukuman bagi koruptor itu sendiri sudah beragam macam. Bukan lagi hanya hukuman penjara dan mengganti kerugian negara. Hakim sudah berani menjatuhkan sanksi denda, hingga mencabut hak politik terpidananya. Apalagi pasal tindak pidana pencucian uang sudah diterapkan, yang diyakini bisa memiskinkan pelaku korupsi itu.
Kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan diyakini masih seperti puncak gunung es. Masih lebih banyak yang belum terungkap, dibanding yang terungkap. Keterbatasan penegak hukum menjadi dalih utama apalagi modus pelaku dari hari ke hari makin canggih dan sulit dideteksi.
Dari itulah Komisi Pemberantasan Korupsi merencanakan menaikkan imbalan bagi mereka yang bisa mengungkap dan melaporkan tindak pidana korupsi dari 0,02 persen menjadi 10 persen. Jika laporan warga terbukti, KPK akan memberikan komisi 10 persen dari hasil kejahatan korupsi yang dilaporkannya tersebut untuk pelapor.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, hal ini akan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk melaporkan upaya pelanggaran korupsi.yang selama ini sudah mulai neraka kena. Saat ini, aturan itu sudah ada, tapi komisi yang diberikan sangat kecil, cuma 0,02 persen.
“Kami menilai imbalan 0,02 persen yang akan diberikan kepada pelapor dari uang negara yang dirugikan akibat hasil tindakan korupsi sangat kecil. Saya mengusulkan untuk menaikkannya jadi 10 persen,” ucap Alex dalam acara Seminar Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di JS Luwansa Hotel, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (25/4/2017).
“Praktiknya ada, tapi nilainya sangat kecil. Kalau nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar Rp 1 miliar, imbalannya hanya 0,02 persen, kira-kira Rp 2 juta. Mungkin itu yang membuat minat partisipasi masyarakat kurang. Jadi kami usulkan mungkin bisa dinaikkan jadi 10 persen,” jelas Alex.
“Logis saja. Lebih baik mana negara kehilangan Rp 1 miliar karena korupsi atau memberikan Rp 100 juta kepada mereka yang mau ikut membantu melaporkan dan mengungkap korupsi?” sambungnya. Dia berharap, dengan upaya ini, masyarakat akan lebih giat berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Niatnya untuk mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pelapor tindak pidana korupsi. Karena sampai saat ini sikap partisipasi masyarakat masih permisif terhadap pelaku koruptif,” ujar Alex seraya menutup pembicaraannya.
Wacana yang digaungkan oleh KPK akan memberikan fee sebesar 10 persen bagi pelapor tindak pidana korupsi disambut baik oleh salah satu Direktur Lembaga Pemantau Korupsi (LEMPEKOR), Aspihani Ideris, pasalnya menurut dia apabila benar terealisasi wacana tersebut tidak menutup kemungkinan pada akhirnya KPK akan kebanjiran menyidik pelaku korupsi itu sendiri.
Karena imbalan 10 persen yang direncanakan oleh KPK itu apabila benar terealisasi, maka bisa berimbas para masyarakat, setiap orang, Organisasi Masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat akan berlomba-lomba melaporkan perkara korupsi dari data yang mereka miliki, namun apakah fee yang semula 0,02 persen direncanakan ditingkatkan menjadi 10 persen tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang ada, ujar Aspihani.
Menurutnya, pemberian imbalan terhadap para pelapor sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71/2000 tentang Tata Cara Pemberian Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Namun, menurut Aspihani Ideris, disana tidak ada dijelaskan tentang imbalan berupa nilai rupiah, melainkan dijelaskan hanya mendapatkan penghargaan berupa piagam atau premi. (TIM)