SUAKA – BATULICIN. Tokoh Masyarakat Adat Dayak Meratus mendesak Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming SH guna menghentikan aktivitas perusahaan PT Jhonlin Agro Mandiri yang telah menggusur tanah adat milik Suku Dayak Meratus di wilayah lereng Pegunungan Meratus, Desa Gunung Raya, Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan selama ini.
Salah satu tokoh adat Dayak Meratus di Komunitas Adat Tuyan, Miso mengungkapkan, warga keturunan suku Dayak sudah mendiami kawasan itu secara turun-temurun sejak dahulu, jauh sebelum Kabupaten Tanah Bumbu terbentuk dan disaat masih wilayah Kabupaten Kota Baru. Para suku Dayak ini, saat itu meraka hidup dengan bercocok tanam di sela-sela hutan di lereng Pegunungan Meratus yang sekarang sudah masuk wilayah administrasi Kabupaten Tanah Bumbu.
“Kami menhharapkan, Bupati mengayomi hak-hak masyarakat adat. Kami memilih Bupati Mardani untuk melindungi hak-hak kami. Sudah selayaknya Bupati mempertahankan hak-hak kami dari perilaku penggusuran. Bupati itu bukan milik perusahaan, namun milik masyarakat, karena kami yang ikut memilih beliau sehingga menjadi Bupati saat ini,” ujar Miso kepada wartawan, Sabtu, 11 Maret 2017.
Miso mengaku dirinya sangat cemas penggusuran tersebut akan melenyapkan kearifan lokal para Suku Dayak Meratus. Padahal, kata dia, Dayak Meratus kerap menggelar ritual adat setiap kali panen dan tanam padi sebagai bentuk ucapan syukur yang mereka sampaikan, paparnya kepada wartawan.
Menurut dia, wilayah Komunitas Adat Tuyan, Alut, dan Adat Batulasung sepertinya akan dijadikan PT Jhonlin Agro Mandiri sebagai perkebunan sengon, karet dan kelapa sawit. Sebagian tanah adat mereka sekarang telah digusur perusahaan dengan pengawalan ketat pihak kepolisian, sehingga masyarakat setempat tidak berdaya dibuatnya.
“Kalau digusur, kami bingung harus pindah ke mana. Pokoknya, komunitas adat menolak digusur, ini tanah dan hutan adat Dayak Meratus yang sudah digarap puluhan tahun bahkan ratusan tahun silam sejak nenek moyangnya,” ujar Miso. Ia menganggap sikap Bupati Mardani seolah-olah membiarkan aksi penggusuran tanah adat Dayak Meratus.
Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM KALIMANTAN), Aspihani Ideris menyatakan, Bupati Tanah Bumbu harus berlaku bijak memahami persoalan penggusuran yang telah dilakukan oleh PT Jhonlin Agro Mandiri tersebut, karena dijelaskan, masyarakat adat Dayak ini sudah puluhan tahun mengusai tanah tersebut.
Disisi lain, dijelaskan bahwa penguasaan tanah adat Dayak pegunungan Meratus ini dilakukan dengan itikad baik, yakni dikelola dengan bercocok tanam guna penghidupan mereka dalam keseharian dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya di daerah tersebut. Jadi menurut PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 24, mereka itu sudah selayaknya secara sah memiliki tanah tersebut.
Senada juga, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Tanah Bumbu, Manasse Boekit mengatakan Bupati Mardani H. Maming menolak pembentukan tim investigasi untuk menelusuri sengkarut lahan adat di sana. Ia sudah empat kali bertemu DPRD Tanah Bumbu, tapi belum ada solusi atas perlindungan terhadap masyarakat adat.
Menurut dia, Bupati Mardani seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat lewat penerbitan Peraturan Daerah. “Tapi enggak direspons. Ada delapan komunitas adat yang butuh perlindungan hak-haknya. Jangan hanya diakui sebagai warga negara saat pemilihan bupati, gubernur, DPRD, dan presiden saja,” Boekit berujar.
Dimintai tanggapan atas kisruh hutan adat tersebut, Bupati Mardani H. Maming mengatakan, penggusuran itu atas dasar izin yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, menurut dia, penetapan hutan adat atas persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Seingat Mardani, KLHK belum pernah menetapkan satu pun tanah adat atau tanah ulayat di Provinsi Kalimantan Selatan ini, ungkapnya berdalih.
“Seharunya diselesaikan dengan Kementeriannya, dong. Kalau memang ada tanah adat, seharusnya saya dapat SK-nya mana yang tanah ulayat. Sekarang, yang mengeluarkan tanah adat, Kehutanan (Kementerian LHK), dan yang diributkan juga produk kehutanan. Mestinya tanah adat dikeluarkan dari kawasan hutan, dong,” ujar Mardani H. Maming sambil menambahkan tidak berwenang menghentikan aktivitas penggusuran yang telah dilakukan oleh PT Jhonlin Agro Mandiri.
Sumber : tempo.co
Wartawan : Jumanti Liany SH
Editorial : Suhaimi, SE
Redaktur : Kastalani Ideris