PASANGAN suami istri pastinya menginginkan rumah tangganya berjalan dengan harmonis. Salah satu cara agar rumah tangga harmonis adalah suami harus mengerti apa yang istri inginkan, begitu pula sebaliknya. Tentunya semua itu inti keharmonisan dalam berumah tangga adalah dalam berhungan intim (Bercinta).
Sesuatu yang membuat bahagia suami adalah dengan sang istri dapat melayani di atas ranjang atau bercinta. Itu juga merupakan salah satu kewajiban seorang istri yang tidak boleh di tinggalkan dan wajib mengikuti ajakan suaminya.
Dari Thalqu bin Ali, Nabi Muhammad SAW bersabda.
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199).
Dari hadits tersebut dapat kita simpulkan bahwa suami wajib dilayani dan di patuhi kapan pun itu apabila mengajak untuk bercinta.
Retaknya hubungan rumah tangga disebabkan penolakan istri terhadap melayani suaminya untuk bercinta. Dan disinilah kebanyakan duduk pangkal terjadinya perceraian.
Lalu dari sini munculah pertanyaan, Apakah hukum istri menolak ajakan suami untuk becinta ?
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW disebutkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa :
“Jika suami memanggil istrinya untuk tidur bersama (bersenggama), lalu istri menolak sehingga semalam itu suami menjadi jengkel (marah) pada istrinya, maka para malaikat mengutuk pada istri itu hingga pagi hari,” (HR Bukhari).
Tentunya hal ini menandakan bahwa penolakan terhadap ajakan suami bercinta adalah hal yang sangat tidak disukai dan sangat dibenci oleh Allah SWT.
Menolak ajakan bercinta dengan suami tentu dapat menyebabkan suami menjadi kecewa dan menjadi timbulnya masalah dalam keluarga, hal ini akan berpengaruh kepada keharmonisan rumah tangga.
Jika hal itu terhadi maka tentu dapat menimbulkan kebencian di hati suami. Hal ini akan sangat merugikan bagi si istri. Sebagaimana Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra. Nabi Muhammad SAW. bersabda :
“Ada tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah. Orang yang mabuk hingga dia sadar, seorang wanita yang dibenci suaminya, dan seorang hamba sahaya yang lari hingga dia kembali dan meletakkan tangannya ditangan tuannya.
Jadi menurut islam menolak ajakan suami akan menjadikan dosa besar bagi istri, begitu juga amal ibadah lainnya serta shalat mereka tidak akan diterima oleh Allah SWT, karena melayani suami adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Didalam agama islam juga memberi pengecualian terhadap hal tersebut. Artinya seorang istri boleh menolak ajakan suaminya untuk bercinta.
Menurut islam seorang istri boleh menolak ajakan suami untuk bercinta dengan ketentuan istri sedang Haid, istri bekerja, istri sedang berpuasa, sedang ihram dan istri sedang sakit.
Kebanyakan istri menolak suami berhubungan intim dengan alasan “saya lelah…!!! – saya capek…!!!”. Padahal kata-kata itu hanya dibuat-buat. Nah ini adalah merupakan dosa besar yang tidak disangka-sangka. Jika suami tidak ridha, maka istri tersebut tidak bakalan masuk surga.
Berikut ini adalah hal-hal yang dilarang ketika berhubungan badan suami istri, yang mesti dihindari, supaya mendatangkan banyak manfaat serta pahala.
- Jangan berhubungan badan saat istri haid.
Ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
- Dilarang berhubungan badan melalui dubur (anus).
Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Terkutuklah orang yang menyetubuhi istri melalui duburnya.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)
- Dilarang berhubungan badan saat ihram.
Allah SWT berfirman yang artinya, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata jorok (rafats), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
- Dilarang berhubungan badan saat siang hari di bulan puasa.
Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa seseorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah saya!”.
Rasululllah bertanya, “Ada apa dengan Anda?” Dia menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan istri sementara saya dalam kondisi berpuasa (di bulan Ramadan).”
Maka Rasulullah saw bertanya, “Apakah Anda dapatkan budak (untuk di merdekakan)?” Dia menjawab, “Tidak.”
Beliau bertanya lagi, “Apakah Anda mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab, “Tidak.”
Beliau kemudian bertanya, “Apakah Anda dapatkan makanan unttuk memberi makan kepada enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak.”
Kemudian ada orang Anshar datang dengan membawa tempat besar yang di dalamnya ada kurmanya.
Beliau bersabda, “Pergilah dan bersedekahlah dengannya.” Orang tadi pun berkata, “Apakah ada yang lebih miskin dari diriku wahai Rasulullah? Demi Allah yang mengutus Anda dengan kebenaran, tidak ada yang lebih membutuhkan di antara dua desa dibandingkan dengan keluargaku.”
Kemudian beliau mengatakan, “Pergilah dan beri makanan keluarga anda.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Dilarang berhubungan badan ketika masih kotor.
Abu Rafi’ ra berkata, “Rasulullah pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, lalu beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?’ Beliau menjawab, ‘Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.'” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua, untuk kebahagian dalam berumah tangga. Mohon maaf kalau tulisan ini kurang sempurna dari yang diharapkan.
Penulis : Kastalani bin Ideris bin Syekh Sayyid Abdurrasyid Assegaf